Oleh: Nurmala
Jika yg datang dapat pergi
Apakah yg telah pergi dapat kembali hadir disisi?
Dinda menatap jendela kamar yang basah bekas hujan semalam. Tatapannya kosong menerawang jauh ke masa lalu. Secangkir teh manis panas tak membuat hatinya menjadi hangat. Hanya irisan tangis yang terdengar dibalik kamar.
Dinda masih mengenang betul peristiwa 5 tahun lalu. Kala itu ia sedang mencari buku untuk menambah referensi. Bulan depan memang jadwalnya mengisi kajian remaja akhwat. Karena sedang berhemat, Dinda memilih toko buku yang harganya tidak terlalu mahal.
Smart book, nama toko yang dimaksud. Di sana hanya ada satu karyawan laki-laki. Tidak terlalu luas tempatnya, tetapi bukunya lengkap. Banyak hiasan kaligrafi di atas dinding. Menandakan pemiliknya penyuka seni Islami. "Ada yang bisa dibantu Mba?", suaranya mengagetkan Dinda yang lima menit tidak bergerak. "Oh, iya Pak saya butuh buku tentang jilbab, ada?", jawab Dinda dengan tergesa. Senyumnya membuat hati lelaki itu berdesir. Namun dengan cekatan karyawan tersebut langsung menyodorkan lima buku yang dimaksud. Dinda memilih dua judul buku dari yang ditawarkan. "Panggil saja saya Bang Rizki. Biar lebih akrab", ucap penjaga toko yang memiliki mata sipit sambil tersenyum. Setelah membayar, Dinda pun bergegas pulang. "Hmm karyawan aneh", gumam Dinda dalam hati.
Gerimis masih membasahi bumi setelah sepekan tidak diguyur hujan. Dinda masih belum mau keluar kamar. Dia masih ingin menyendiri. Seorang perempuan belasan tahun menghampirinya sambil membawakan makanan. Hanya ucapan terima kasih tanpa melirik menu yang dihidangkan. Padahal aroma ikan goreng dan sayur asem begitu menggoda hidung. Perempuan itu berlalu dg menatap sendu sepasang mata yang kian sembab.
Dinda melirik jam, ah sudah pukul 9 rupanya. Lukisan lelaki kesayangannya basah karena tumpahan air mata. Hatinya basah seperti bumi yang diguyur hujan. Adik cantiknya tak berani menegur. Ia langsung menutup pintu kamar dan berlalu.
Ingatan Dinda menjelajah hari bersejarah. Pagi itu, semua keluarga Dinda bersiap-siap untuk menyambut tamu istimewa. Pakaian berwarna biru muda mengisyaratkan rasa bahagia dihati Dinda. Namun resahpun mengambil andil hari itu.
DARR!!DEERR!!DOOORR!!
Petasan sudah berbunyi. Pertanda mempelai pria sudah datang. Jemari tangannya mulai mendingin di pagi menjelang siang. Harum melati hiasan kerudungnya mampu menenangkan perasaan Dinda kala itu.
Dari bilik kamar terdengar suara ayah yang sedang memberikan ijab kabul. Dan dengan lantang lelaki itu menjawab,
"Saya terima nikah dan kawinnya Adinda Widya Sukmawijaya binti Arif Sukmawijaya dengan seperangkat alat solat dan emas 5 gram dibayar tunai!"
Ucapan hamdallah dan doa-doa terbaik dipanjatkan. Tidak ada hari sebahagia hari itu. Saat ayah menyerahkan tanggungjawab anak perempuannya pada seorang laki-laki sholeh.
Tiga tahun berlalu. Dinda dan suami belum juga dikaruniai seorang anak. Ikhtiar telah mereka lakukan. Dari medis hingga tradisional. Namun Allah belum berkenan. Hingga suatu hari ibu mertua Dinda mengucapkan kalimat yang membuat hatinya sakit bertubi-tubi.
"Dinda, jika kamu tidak bisa memberikan keturunan pada anak laki-lakiku, biarkan dia menikah lagi", terang seorang perempuan yang selalu dihormatinya.
Hati siapa yang takkan hancur, jika ibu mertua sendiri yang menyuruh anak lelakinya menikah lagi kepada menantunya? Saat itu Dinda tak bisa berkata apa-apa.
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Kalimat sadis itu masih menyimpan luka. Suatu malam akhirnya Dinda menyampaikan pesan ibu mertuanya kepada sang suami.
"Bang, jika aku tak bisa memberimu anak, boleh kok Abang menikah dengan perempuan lain", ujar Dinda dengan mata berkaca-kaca.
"Kenapa kamu berkata begitu? Ini semua kehendak Allah. Mungkin Allah masih ingin kita berdua dulu. Menikmati masa-masa indah. Sudahlah jangan ngomong macem-macem lagi", jawab lelaki kesayangannya.
Ah, Dinda memang tak berani membawa nama ibu mertua dihadapan suami. Hanya ikhlas kunci satu-satunya.
Dinda benar-benar menyerap perkataan suaminya. Dia semakin mencintai sang suami dengan caranya. Hingga di tahun kelima pernikahannya, suami Dinda mengalami kecelakaan yang membuat matanya tak bisa melihat. Hanya cahaya yang berkelebatan yang dapat ditangkap.
Di sebuah kamar bercat ungu violet, Dinda menyandarkan kepalanya di atas paha lelaki yang sedang duduk bersandar. Dinda menggenggam erat tangan suaminya. Tangan yang pertama disentuhnya setelah akad ijab qobul. Tangan pertama yang memegang ubun-ubunnya sambil memanjatkan doa. Tangan yang setiap hari menata buku-buku agar rapi di tokonya.
"Sabar ya Sayang, insyaallah Abang akan bisa melihat lagi. Kita tunggu sampai ada pendonor mata", Dinda menguatkan sang suami.
"Serahkan semuanya kepada Allah. Tak masalah jika Abang tetap tak bisa melihat. Asalkan Dindaku selalu bahagia. Dulu kau meminta Abang untuk menikah lagi. Sekarang, Abang yang memintamu menikah lagi", jelas lelaki tangguh itu padanya.
Dinda langsung menolak permintaan suaminya itu. Air mata jatuh berderai. Dua insan yang saling mencinta sedang diuji kesetiaannya.
"Umur Abang tak akan lama lagi Din. Saat ini Allah telah mencabut satu nikmatnya, mataku buta. Mungkin besok nyawaku yang akan diambilNya. Dinda harus kuat ya. Dinda tidak boleh menangis. Kita disatukan karena Allah. Dan kita dipisahkan karena Allah. Dinda berdoa saja supaya kita bisa berkumpul kembali di SurgaNya Allah. Aamiin", ucap lelaki itu sambil mengecup kening Dinda.
Ayah memilihkan Dinda lelaki yang benar-benar tangguh dan kuat. Dalam sakit sekalipun. Iba Dinda melihatnya. Tak ada kalimat yang tepat untuk membalas perkataan suaminya itu.
Dibawah sinar rembulan, mereka saling berbagi suka dan duka. Bertukar cerita, canda hingga tangis mengakhiri semuanya.
Adzan Subuh berkumandang, Dinda bergegas bangun. Ia coba membangunkan suaminya, namun masih pulas rupanya. Dinda memutuskan untuk sholat Subuh lebih dulu. Namun Dinda merasa aneh, biasanya sebelum adzan subuh suaminya selalu bangun lebih awal. Hari ini tidak. Dinda mencoba membisiki kuping suaminya, menggoyangkan badannya, memanggil namanya. Dan... mencoba mendengar nafasnya. Innalillahi wa inna ilaihi rooji'uun. Suaminya telah tiada.
Teriakannya mengalahkan suara ayam jantan yang berkokok. Menggemparkan seisi rumah.
Dinda menangis meraung-raung berusaha membangunkan jasad yang telah diambil ruhnya. Hingga Dinda jatuh pingsan.
#
Mengingat kembali malam terakhir itu, semakin pecah tangisnya. Kalimat terakhir itulah sebagai pertanda. Namun sungguh, perempuan yang kini ditinggal suaminya itu sama sekali tidak merasakannya.
Seandainya Dinda memiliki kartu permintaan, maka dia menginginkan suaminya kembali. Mengulang malam yang panjang dan hingga fajar terbit. Seandainya Dinda tahu Allah akan mencabut nyawa suaminya malam itu, maka matanya tak akan pernah terpejam sedikitpun. Akan ia habiskan waktu bersama lelaki tangguhnya. Kini Dinda hanya bisa memandangi foto lelaki kesayangannya. Lelaki tangguhnya.
"Terima kasih Abang sudah hadir di kehidupan Dinda. Terima kasih sudah memberi warna dihatiku. Terima kasih atas doa-doa dan semangatmu. Dinda akan penuhi amanah terakhirmu agar menutup toko Smart Book dan mengubahnya menjadi taman baca RiDa. Singkatan dari nama kita, Rizki Dinda. Insyaallah Dinda kuat seperti doa Abang. Semoga Abang tenang disisiNya. Rizki Hadi Sabilillah", tangisnya menambah embun dijendela kamarnya.
Jika yg datang dapat pergi
Apakah yg telah pergi dapat kembali hadir disisi?
Dinda menatap jendela kamar yang basah bekas hujan semalam. Tatapannya kosong menerawang jauh ke masa lalu. Secangkir teh manis panas tak membuat hatinya menjadi hangat. Hanya irisan tangis yang terdengar dibalik kamar.
Dinda masih mengenang betul peristiwa 5 tahun lalu. Kala itu ia sedang mencari buku untuk menambah referensi. Bulan depan memang jadwalnya mengisi kajian remaja akhwat. Karena sedang berhemat, Dinda memilih toko buku yang harganya tidak terlalu mahal.
Smart book, nama toko yang dimaksud. Di sana hanya ada satu karyawan laki-laki. Tidak terlalu luas tempatnya, tetapi bukunya lengkap. Banyak hiasan kaligrafi di atas dinding. Menandakan pemiliknya penyuka seni Islami. "Ada yang bisa dibantu Mba?", suaranya mengagetkan Dinda yang lima menit tidak bergerak. "Oh, iya Pak saya butuh buku tentang jilbab, ada?", jawab Dinda dengan tergesa. Senyumnya membuat hati lelaki itu berdesir. Namun dengan cekatan karyawan tersebut langsung menyodorkan lima buku yang dimaksud. Dinda memilih dua judul buku dari yang ditawarkan. "Panggil saja saya Bang Rizki. Biar lebih akrab", ucap penjaga toko yang memiliki mata sipit sambil tersenyum. Setelah membayar, Dinda pun bergegas pulang. "Hmm karyawan aneh", gumam Dinda dalam hati.
Gerimis masih membasahi bumi setelah sepekan tidak diguyur hujan. Dinda masih belum mau keluar kamar. Dia masih ingin menyendiri. Seorang perempuan belasan tahun menghampirinya sambil membawakan makanan. Hanya ucapan terima kasih tanpa melirik menu yang dihidangkan. Padahal aroma ikan goreng dan sayur asem begitu menggoda hidung. Perempuan itu berlalu dg menatap sendu sepasang mata yang kian sembab.
Dinda melirik jam, ah sudah pukul 9 rupanya. Lukisan lelaki kesayangannya basah karena tumpahan air mata. Hatinya basah seperti bumi yang diguyur hujan. Adik cantiknya tak berani menegur. Ia langsung menutup pintu kamar dan berlalu.
Ingatan Dinda menjelajah hari bersejarah. Pagi itu, semua keluarga Dinda bersiap-siap untuk menyambut tamu istimewa. Pakaian berwarna biru muda mengisyaratkan rasa bahagia dihati Dinda. Namun resahpun mengambil andil hari itu.
DARR!!DEERR!!DOOORR!!
Petasan sudah berbunyi. Pertanda mempelai pria sudah datang. Jemari tangannya mulai mendingin di pagi menjelang siang. Harum melati hiasan kerudungnya mampu menenangkan perasaan Dinda kala itu.
Dari bilik kamar terdengar suara ayah yang sedang memberikan ijab kabul. Dan dengan lantang lelaki itu menjawab,
"Saya terima nikah dan kawinnya Adinda Widya Sukmawijaya binti Arif Sukmawijaya dengan seperangkat alat solat dan emas 5 gram dibayar tunai!"
Ucapan hamdallah dan doa-doa terbaik dipanjatkan. Tidak ada hari sebahagia hari itu. Saat ayah menyerahkan tanggungjawab anak perempuannya pada seorang laki-laki sholeh.
Tiga tahun berlalu. Dinda dan suami belum juga dikaruniai seorang anak. Ikhtiar telah mereka lakukan. Dari medis hingga tradisional. Namun Allah belum berkenan. Hingga suatu hari ibu mertua Dinda mengucapkan kalimat yang membuat hatinya sakit bertubi-tubi.
"Dinda, jika kamu tidak bisa memberikan keturunan pada anak laki-lakiku, biarkan dia menikah lagi", terang seorang perempuan yang selalu dihormatinya.
Hati siapa yang takkan hancur, jika ibu mertua sendiri yang menyuruh anak lelakinya menikah lagi kepada menantunya? Saat itu Dinda tak bisa berkata apa-apa.
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Kalimat sadis itu masih menyimpan luka. Suatu malam akhirnya Dinda menyampaikan pesan ibu mertuanya kepada sang suami.
"Bang, jika aku tak bisa memberimu anak, boleh kok Abang menikah dengan perempuan lain", ujar Dinda dengan mata berkaca-kaca.
"Kenapa kamu berkata begitu? Ini semua kehendak Allah. Mungkin Allah masih ingin kita berdua dulu. Menikmati masa-masa indah. Sudahlah jangan ngomong macem-macem lagi", jawab lelaki kesayangannya.
Ah, Dinda memang tak berani membawa nama ibu mertua dihadapan suami. Hanya ikhlas kunci satu-satunya.
Dinda benar-benar menyerap perkataan suaminya. Dia semakin mencintai sang suami dengan caranya. Hingga di tahun kelima pernikahannya, suami Dinda mengalami kecelakaan yang membuat matanya tak bisa melihat. Hanya cahaya yang berkelebatan yang dapat ditangkap.
Di sebuah kamar bercat ungu violet, Dinda menyandarkan kepalanya di atas paha lelaki yang sedang duduk bersandar. Dinda menggenggam erat tangan suaminya. Tangan yang pertama disentuhnya setelah akad ijab qobul. Tangan pertama yang memegang ubun-ubunnya sambil memanjatkan doa. Tangan yang setiap hari menata buku-buku agar rapi di tokonya.
"Sabar ya Sayang, insyaallah Abang akan bisa melihat lagi. Kita tunggu sampai ada pendonor mata", Dinda menguatkan sang suami.
"Serahkan semuanya kepada Allah. Tak masalah jika Abang tetap tak bisa melihat. Asalkan Dindaku selalu bahagia. Dulu kau meminta Abang untuk menikah lagi. Sekarang, Abang yang memintamu menikah lagi", jelas lelaki tangguh itu padanya.
Dinda langsung menolak permintaan suaminya itu. Air mata jatuh berderai. Dua insan yang saling mencinta sedang diuji kesetiaannya.
"Umur Abang tak akan lama lagi Din. Saat ini Allah telah mencabut satu nikmatnya, mataku buta. Mungkin besok nyawaku yang akan diambilNya. Dinda harus kuat ya. Dinda tidak boleh menangis. Kita disatukan karena Allah. Dan kita dipisahkan karena Allah. Dinda berdoa saja supaya kita bisa berkumpul kembali di SurgaNya Allah. Aamiin", ucap lelaki itu sambil mengecup kening Dinda.
Ayah memilihkan Dinda lelaki yang benar-benar tangguh dan kuat. Dalam sakit sekalipun. Iba Dinda melihatnya. Tak ada kalimat yang tepat untuk membalas perkataan suaminya itu.
Dibawah sinar rembulan, mereka saling berbagi suka dan duka. Bertukar cerita, canda hingga tangis mengakhiri semuanya.
Adzan Subuh berkumandang, Dinda bergegas bangun. Ia coba membangunkan suaminya, namun masih pulas rupanya. Dinda memutuskan untuk sholat Subuh lebih dulu. Namun Dinda merasa aneh, biasanya sebelum adzan subuh suaminya selalu bangun lebih awal. Hari ini tidak. Dinda mencoba membisiki kuping suaminya, menggoyangkan badannya, memanggil namanya. Dan... mencoba mendengar nafasnya. Innalillahi wa inna ilaihi rooji'uun. Suaminya telah tiada.
Teriakannya mengalahkan suara ayam jantan yang berkokok. Menggemparkan seisi rumah.
Dinda menangis meraung-raung berusaha membangunkan jasad yang telah diambil ruhnya. Hingga Dinda jatuh pingsan.
#
Mengingat kembali malam terakhir itu, semakin pecah tangisnya. Kalimat terakhir itulah sebagai pertanda. Namun sungguh, perempuan yang kini ditinggal suaminya itu sama sekali tidak merasakannya.
Seandainya Dinda memiliki kartu permintaan, maka dia menginginkan suaminya kembali. Mengulang malam yang panjang dan hingga fajar terbit. Seandainya Dinda tahu Allah akan mencabut nyawa suaminya malam itu, maka matanya tak akan pernah terpejam sedikitpun. Akan ia habiskan waktu bersama lelaki tangguhnya. Kini Dinda hanya bisa memandangi foto lelaki kesayangannya. Lelaki tangguhnya.
"Terima kasih Abang sudah hadir di kehidupan Dinda. Terima kasih sudah memberi warna dihatiku. Terima kasih atas doa-doa dan semangatmu. Dinda akan penuhi amanah terakhirmu agar menutup toko Smart Book dan mengubahnya menjadi taman baca RiDa. Singkatan dari nama kita, Rizki Dinda. Insyaallah Dinda kuat seperti doa Abang. Semoga Abang tenang disisiNya. Rizki Hadi Sabilillah", tangisnya menambah embun dijendela kamarnya.
Komentar