Mencoba sekuat batu karang
Tuk arungi ombak kehidupan
Tuk arungi ombak kehidupan
Panas matahari menambah panas air mata Shaffa. Obrolan dengan Zein beberapa menit lalu sungguh menusuk hatinya. Tak disangka Zein akan marah besar. Eci, sahabat yang dimintai tolong untuk menemani Shaffa tak berani bersuara.
"Aku harus gimana Ci sekarang?"
"Aku takut Surya ngelakuin macem-macem", adu Shaffa.
"Menurut aku sih mending sekarang fokus dulu untuk ke bertemu ibunya Zein. Setelah itu baru kita pikirin lagi masalah yang tadi", saran Eci.
Di dalam angkot, Shaffa lebih banyak diam. Menyiapkan kesan terbaiknya didepan ibu Zein nanti. Beruntung angkot yang ditumpangi tidak terlalu ramai. Eci mencoba mengembalikan suasana hati Shaffa meski cemas itu tetap terlihat.
Satu jam perjalanan cukup untuk Shaffa menguasai diri. Merekapun berhenti tepat di sebuah toko sembako. Di sana duduk seorang perempuan paruh baya dengan kerudung bergo cokelat.
Shaffa dan Eci mengucapkan salam secara bersamaan. Perempuan itu pun menjawab salam.
"Wa'alaikumsalam. Iya mau beli apa Neng?".
"Hmm maaf Bu. Saya mau ketemu dengan ibunya Zein. Saya Shaffa dan ini teman saya Eci kami temannya Bang Zein", Shaffa memperkenalkan diri.
"Ooohh.... iya iya.. Zein sudah cerita. Saya ibunya Zein. Mari silahkan masuk. Maaf ya, dikira ibu, Eneng mau beli ke warung", jelas perempuan paruh baya dengan wajah sumringah .
Karena rumah Zein agak jauh dengan toko, maka disarankan agar Shaffa menemui ibunya di toko saja.
Kedua gadis tersebut duduk di bale-bale tepat di samping toko sembako. Sepertinya biasa untuk tempat istirahat jika sedang tidak ada pembeli.
Satu jam perjalanan cukup untuk Shaffa menguasai diri. Merekapun berhenti tepat di sebuah toko sembako. Di sana duduk seorang perempuan paruh baya dengan kerudung bergo cokelat.
Shaffa dan Eci mengucapkan salam secara bersamaan. Perempuan itu pun menjawab salam.
"Wa'alaikumsalam. Iya mau beli apa Neng?".
"Hmm maaf Bu. Saya mau ketemu dengan ibunya Zein. Saya Shaffa dan ini teman saya Eci kami temannya Bang Zein", Shaffa memperkenalkan diri.
"Ooohh.... iya iya.. Zein sudah cerita. Saya ibunya Zein. Mari silahkan masuk. Maaf ya, dikira ibu, Eneng mau beli ke warung", jelas perempuan paruh baya dengan wajah sumringah .
Karena rumah Zein agak jauh dengan toko, maka disarankan agar Shaffa menemui ibunya di toko saja.
Kedua gadis tersebut duduk di bale-bale tepat di samping toko sembako. Sepertinya biasa untuk tempat istirahat jika sedang tidak ada pembeli.
Ibunya Zein begitu ramah. Sambil membawa suguhan, ibunya Zein mulai menyelidik tentang gadis yang diceritakan Zein padanya. Ya, gadis itu adalah Shaffa. Obrolanpun mengalir begitu saja. Terkadang Eci mencairkan suasana ketika melihat Shaffa terlihat gugup. Huft. Untung saja ajak Eci. Gumam Shaffa dalam hati.
Satu hal tentang Zein yang merasa Shaffa tertampar. Ibunya menyampaikan, bahwa ketika Zein menginginkan sesuatu dia tidak akan menampakkannya. Namun tetap berusaha meraihnya. Tapi, jika ada yang mencoba menghancurkannya maka Zein akan memilih mundur daripada harus mengambil resiko. Pesan tersebut membawa pikiran Shaffa kembali berada pada peristiwa tadi siang.
Dua jam menjadi waktu yang sangat singkat. Mengingat hari sudah sore, mereka pamit pulang. Tak lama terdengar deru suara motor.
"Bang Zein datang", lirih Shaffa. Kini, bukan perasaan segan atau senang. Sore itu berubah ketakutan yang mencekam.
Eci mengetahui perubahan tersebut, dia menggenggam tangan Shaffa. Tanda menguatkan. Canggung dan kikuk saat bertatap muka. Ibunya Zein menganggap itu biasa. Tapi samudra di hati Shaffa tak ada yang dapat menjangkau.
Zein terlihat dingin. Setelah dia mencium tangan ibunya, dia hanya melirik Shaffa sebentar. Sebentar saja. Kemudian mengarahkan pandangannya ke sudut jalan. Masih terasa sesak bagi Zein.
Shaffa dan Eci berpamitan kepada ibunya Zein. Juga Zein tentunya. Sebelum pulang,Shaffa dibawakan beberapa macam makanan. Oleh-oleh untuk orang rumah katanya.
Selang beberapa menit Shaffa dan Eci menaiki angkot menuju pasar arah pulang. Ponsel Shaffa berdering sesaat angkot yang ditumpanginya melaju. Berharap Zein yang mengirim pesan.
Mulut Shaffa komat kamit saat membaca pesan tersebut. Air mukanya menjadi gusar. Karena penasaran, Eci bertanya,
" Pesan dari siapa Shaff?",
"... Sur.. ya... Ci", jawab Shaffa pelan.
"Ngapain dia kirim pesan lagi?",
"Udah cuekin aja". Seru Eci.
"Dia ngancem lagi Ci", sahut Shaffa.
"Dasar ga tau malu ya. Ga bisa terima kenyataan banget sih!" Keluh Eci.
Sejak saat itu Shaffa memasrahkan semuanya kepada Dzat yang Maha Kuat. Agar hatinya diberi kekuatan. Surya itu masa lalu dan tidak akan pernah Shaffa mau kembali padanya. Dan, Zein cahaya harapan yang baru saja menyala.
Namun, dapatkah cahayanya bertahan hingga badai reda?
Dinginnya malam masih sedingin hatimu
Mengalahkan hangatnya asmara di lubuk jiwa
Tentangmu, tentang kita yang entah akan bermuara dimana...
Satu hal tentang Zein yang merasa Shaffa tertampar. Ibunya menyampaikan, bahwa ketika Zein menginginkan sesuatu dia tidak akan menampakkannya. Namun tetap berusaha meraihnya. Tapi, jika ada yang mencoba menghancurkannya maka Zein akan memilih mundur daripada harus mengambil resiko. Pesan tersebut membawa pikiran Shaffa kembali berada pada peristiwa tadi siang.
Dua jam menjadi waktu yang sangat singkat. Mengingat hari sudah sore, mereka pamit pulang. Tak lama terdengar deru suara motor.
"Bang Zein datang", lirih Shaffa. Kini, bukan perasaan segan atau senang. Sore itu berubah ketakutan yang mencekam.
Eci mengetahui perubahan tersebut, dia menggenggam tangan Shaffa. Tanda menguatkan. Canggung dan kikuk saat bertatap muka. Ibunya Zein menganggap itu biasa. Tapi samudra di hati Shaffa tak ada yang dapat menjangkau.
Zein terlihat dingin. Setelah dia mencium tangan ibunya, dia hanya melirik Shaffa sebentar. Sebentar saja. Kemudian mengarahkan pandangannya ke sudut jalan. Masih terasa sesak bagi Zein.
Shaffa dan Eci berpamitan kepada ibunya Zein. Juga Zein tentunya. Sebelum pulang,Shaffa dibawakan beberapa macam makanan. Oleh-oleh untuk orang rumah katanya.
Selang beberapa menit Shaffa dan Eci menaiki angkot menuju pasar arah pulang. Ponsel Shaffa berdering sesaat angkot yang ditumpanginya melaju. Berharap Zein yang mengirim pesan.
Mulut Shaffa komat kamit saat membaca pesan tersebut. Air mukanya menjadi gusar. Karena penasaran, Eci bertanya,
" Pesan dari siapa Shaff?",
"... Sur.. ya... Ci", jawab Shaffa pelan.
"Ngapain dia kirim pesan lagi?",
"Udah cuekin aja". Seru Eci.
"Dia ngancem lagi Ci", sahut Shaffa.
"Dasar ga tau malu ya. Ga bisa terima kenyataan banget sih!" Keluh Eci.
Sejak saat itu Shaffa memasrahkan semuanya kepada Dzat yang Maha Kuat. Agar hatinya diberi kekuatan. Surya itu masa lalu dan tidak akan pernah Shaffa mau kembali padanya. Dan, Zein cahaya harapan yang baru saja menyala.
Namun, dapatkah cahayanya bertahan hingga badai reda?
Dinginnya malam masih sedingin hatimu
Mengalahkan hangatnya asmara di lubuk jiwa
Tentangmu, tentang kita yang entah akan bermuara dimana...
Komentar