Kenapa harus datang, jika akhirnya akan menghilang?
Mentari pagi tak menyurutkan cemas yang melanda Shaffa. Ba'da Dzuhur ia ada janji bersilaturahmi dengan seseorang. Bagaimana tidak, Shaffa akan bertemu dengan ibunya Zein. Ya. Zein adalah ketua alumni pustakawan sekolah yang Shaffa kagumi sejak kelas 2 SMA.
Pembawaan Zein yang tenang dan berwibawa menaruh simpati khusus di relung hati Shaffa. Ditambah perawakan yang tinggi besar menjadikannya lebih disegani banyak orang. Perceraian orang tua, membuat Shaffa kehilangan sosok panutan. Mengenal Zein, seolah mendapat secercah cahaya. Mengobati kepiluan dengan sebuah pengharapan.
Waktu berputar dengan rotasinya. Kekaguman Shaffa pada Zein bermetaforfosis menjadi rasa yang berbuah rindu. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Pribahasa ini mungkin cocok mendeskripsikan harapan Shaffa kepada Zein. Ketika ketua alumni tersebut melayangkan pesan bahwa dia ingin mencoba serius dengan Shaffa. Ah, perempuan lugu ini sungguh malu mengakuinya. Hingga 2 pekan setelah perbincangan singkat lewat ponsel, mereka mengatur pertemuan agar Shaffa dapat bertemu dengan ibunya Zein.
Pukul 10.00 pagi menjelang siang. Shaffa sudah bersiap-siap. Ia mengenakan gamis dan kerudung merah muda. Sesekali Shaffa menarik nafas panjang sambil mematut dirinya didepan cermin.
Sebelum Shaffa ke rumah Zein, dia mampir ke sebuah toko kue. Tidak sopan jika hanya membawa tangan kosong kesana. Baru saja keluar dari toko kue, ponselnya berdering.
"Dari Zein?", gumam Shaffa.
Kegusarannya bertambah karena tiba-tiba Zein minta bertemu dulu dengan Shaffa sebelum berangkat.
Angin siang tak membuat hatinya segar. Shaffa mempercepat langkah menuju taman baca yang terdapat di tengah alun-alun kota. Shaffa melihat sekeliling, dan yang dicari sedang asik menatap layar ponsel.
Setelah mengatur nafas dan emosi, Shaffa memberanikan diri untuk menyapa,
"Assalamu'alaikum. Maaf Bang Zein, sudah menunggu lama ya?"
"Wa'alaikumsalam. Tidak apa," jawab Zein datar.
Betapa kagetnya Shaffa seketika itu Zein menyodorkan HP nya.
"Apa ini?", tanya Shaffa.
"Baca saja dulu", jawabnya ketus. Mata sipitnya kini seakan membesar. Ada amarah disana. Perlahan Shaffa membaca isi pesan yang Zein sodorkan.
Seketika Shaffa merasa terkejut dengan nama yang baru dibacanya.
"Surya?!", lirih Shaffa.
"Kamu masih menjalin hubungan sama dia?", Zein bertanya tanpa tedeng aling-aling.
"Hah? Ti.. tidaklah Bang. Hubungan kami sudah selesai 3 bulan yang lalu", jelas Shaffa dengan perasaan gugup. Rasanya langit akan runtuh. Shaffa berusaha menahan butiran air mata yang sudah menggenang.
Di dalam pesannya, Surya mengancam Zein. Jika masih meneruskan hubungannya dengan Shaffa, maka ia tak segan-segan untuk memisahkan Shaffa dari Zein.
Shaffa berusaha menenangkan Zein supaya tidak percaya dengan pesan dari Surya. Namun saat itu perasaan Zein masih diselimuti emosi.
"Hari ini Shaffa tetap ke rumah Abang aja. Ibu Abang sudah menunggu."
"Tapi, Abang tidak tau ya kelanjutannya bagaimana. Hari ini cuma pertemuan perkenalan biasa."
Shaffa mendengarkan sambil tertunduk lemas.
"Lain kali kalau mau memulai hubungan baru dengan siapapun, jangan sekali-sekali membuka komunikasi dengan orang di masa lalu. Apalagi menceritakan jalinan baru kepadanya. Nanti yang susah kamu sendiri." Zein mengingatkan sembari membelakangi.
Dengan langkah gontai Shaffa meninggalkan Zein sendirian. Tak ada kata yang tepat diucapkan kecuali maaf. Lelaki dengan perawakan besar itu masih membuang muka saat Shaffa berpamitan.
Sang perisai mengamuk di hati yang lapang
Saat keyakinan tlah dibangun
Dia tak cukup kuat menopang
Akankah perisaiku tetap bertahan?
Ataukah akan mundur perlahan?
Seketika Shaffa merasa terkejut dengan nama yang baru dibacanya.
"Surya?!", lirih Shaffa.
"Kamu masih menjalin hubungan sama dia?", Zein bertanya tanpa tedeng aling-aling.
"Hah? Ti.. tidaklah Bang. Hubungan kami sudah selesai 3 bulan yang lalu", jelas Shaffa dengan perasaan gugup. Rasanya langit akan runtuh. Shaffa berusaha menahan butiran air mata yang sudah menggenang.
Di dalam pesannya, Surya mengancam Zein. Jika masih meneruskan hubungannya dengan Shaffa, maka ia tak segan-segan untuk memisahkan Shaffa dari Zein.
Shaffa berusaha menenangkan Zein supaya tidak percaya dengan pesan dari Surya. Namun saat itu perasaan Zein masih diselimuti emosi.
"Hari ini Shaffa tetap ke rumah Abang aja. Ibu Abang sudah menunggu."
"Tapi, Abang tidak tau ya kelanjutannya bagaimana. Hari ini cuma pertemuan perkenalan biasa."
Shaffa mendengarkan sambil tertunduk lemas.
"Lain kali kalau mau memulai hubungan baru dengan siapapun, jangan sekali-sekali membuka komunikasi dengan orang di masa lalu. Apalagi menceritakan jalinan baru kepadanya. Nanti yang susah kamu sendiri." Zein mengingatkan sembari membelakangi.
Dengan langkah gontai Shaffa meninggalkan Zein sendirian. Tak ada kata yang tepat diucapkan kecuali maaf. Lelaki dengan perawakan besar itu masih membuang muka saat Shaffa berpamitan.
Sang perisai mengamuk di hati yang lapang
Saat keyakinan tlah dibangun
Dia tak cukup kuat menopang
Akankah perisaiku tetap bertahan?
Ataukah akan mundur perlahan?
Komentar